Dua hari ini ada berita yang sangat mengganggu, yaitu pembantaian buaya di peternakan buaya di Sorong, Papua. Jumlah buaya yang dibantai nggak tanggung-tanggung, konon paling sedikit 290-an ekor, dari berbagai ukuran, dari buaya dewasa hingga buaya kicil-kicil alias bayi buaya. Penyebabnya? Konon amukan warga dan balas dendam karena ada salah seorang warga yang tewas disantap ketika mencari rumput dekat kandang buaya.
Dalam sekejap berita itu sudah masuk beberapa media luar negeri, lengkap dengan videonya. Hiiii, nggak kebayang itu yang membuat video, apa kuat ya merekam video atas kejadian itu. Tapi kalo nggak ada video, mungkin orang tidak tahu seperti apa buruknya kondisi saat itu.
Ini beberapa link berita di luar:
http://time.com/5339460/indonesia-crocodile-massacre-west-papua/
https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-44844367
Seburuk apa? aah ogah menceritakannya. Pokoknya buruk ajaaaah.. paraaah.. mengerikan..
Bukan soal buayanya ya.. atau soal korban yang dimakan buaya, tapi cara pembantaian itu, dengan alasan apapun, tidak bisa dibenarkan.
Saya nggak habis pikir, apa nggak tersisa rasa kasihan sedikitpun di hati orang-orang yang waktu itu beramai-ramai membunuh buaya yang nggak berdaya.. Sampe buaya yang kecil-kecil, yang sama sekali nggak bahaya, kok ya tega dipukuli ramai-ramai seperti itu?
Mungkin bener komentar kakak Bilal, ini siapa sih yang jadi “animal”? Hewan aja nggak segitunya membantai korban-korbanya.
Setelah sebelumnya kasus pembantaian harimau Sumatera, yang berakibat pencarian berhari-hari oleh harimau lain yang diduga pasangannya plus usaha BKSDA mengevakuasi harimau betina ini. Sekarang berita pembantaian buaya yang jumlahnya ratusan. Ternyata banyak orang-orang yang beraninya kroyokan terhadap makhluk yang lemah, bahkan nggak cukup membunuh, tapi menyiksa.
Gimana ya caranya mengajarkan kasih sayang ke sesama makhluk hidup, baik binatang dan manusia? Kayaknya ajaran ini harus benar-benar ditanamkan sejak kecil, jangan pake pengecualian-pengecualian dengan alasan yang nggak jelas. Bagaimana caranya ketika terpaksa membunuh satwa di depan anak-anak? Aduh jangan sampe deh. Sejak kecil saya selalu bilang untuk me”nyingkir”kan tikus ke kebun (terserah mau dibunuh atau mau dilepas lagi, kalo tikusnya masuk perangkap). Saya bilang, itu tikus mau dipindahkan ke kebon, supaya jangan bikin sarang di dalam rumah. Tetangga saya yang dulu penyayang binatang, menolak menggunakan racun tikus, karena katanya suka nggak sengaja dimakan kucing dan kucingnya mati. Dia lebih suka memelihara kucing sebagai musuh biologis tikus. Ketika kakak kecil, waktu ingin ngeplak kecoa, biasanya kita geser dulu ke luar rumah / teras, baru dikeplak, hehehe.. supaya nggak keliatan pas dikeplaknya. Selain itu, nggak pernah kita mencontohkan mengeplak binatang. Ketika ke pasar, ke los ikan basah, kakak selalu menyusupkan wajahnya ke badan ibu kalo tukang ikan memukul ikan di kepalanya supaya mati. Melihat hewan saat Kurban? Nggak pernah saya sarankan, saya selalu menyarankan mereka untuk menyingkir, jangan menonton hewan kurban. Nanti aja makan dagingnya.
Awal-awalnya agak risih, tapi lama-lama biasa juga. Mungkin karena si Ayah terus-terusan mencontohkan, jadi lama-lama biasa. Ketika ada semut bergerombol, si Ayah nggak mengizinkan kita menyapu semut-semut itu, apalagi menggilasnya dengan rasa kesal. Kata Ayah, biarkan si semut sedang migrasi, nanti juga kalo sudah selesai, kosong sendiri. Kalo gula dirubung semut, si Ayah hanya menggeletakkan gula di atas piring, meniup-niup hingga si semut pergi. Makanya kelakuan kayak gitu ditiru sama kakak dan adek. Ketika SD si kakak pernah menabok temennya gegara si temen ini demen banget mencet-mencet semut yang lagi jalan di dinding. Kakak dan adek juga sudah biasa memindahkan semut yang terjebak di air minum, di ember, dan tempat-tempat lain. Ketika di kamar mandi ada keong di lantai, kakak sibuk mencari daun untuk memindahkan keong sebelum mandi. Menepak cecak? Oooh, mana pernah… Kalo ada cecak, biarkan saja berlalu.
Duuh, bukan lebay, tapi memang begitulah kondisi di lingkungan saya. Tikus, kalo kepergok, ya cuma digebah-gebah supaya keluar rumah. Selanjutnya silakan diburu kucing. Cacing atau kaki seribu yang nyasar ke dalam rumah, ya tinggal dipindahkan ke kebon. Mula-mula saya juga suka menindas laba-laba, karena phobia. Tapi lama-lama, kalo saya protes, mereka dengan suka rela memindahkan laba-laba di pojokan dinding atau di kolong-kolong, dengan sapu. Tapi beberapa laba-laba yang menurut saya beracun, mau nggak mau dipencet (tentunya nggak pake ribut). Kalo ketauan mereka, pasti buru-buru pengen dipindahkan ke halaman.
So, mengajarkan sayang ke binatang nggak bisa cuma diucapkan, tapi kita harus rela bersama mencontohkan. Misal, tidak mengusir kucing dengan cara menggebah-gebah dengan sapu lidi (meski kesel), karena, menurut mereka, beberapa kucing sangat tersinggung jika digebah dengan sapu sehingga mereka nggak mau makan. What? Penting? Menurut para animal lovers itu penting. Jadi, jangankan membantai buaya, membantai semut, laba-laba, atau belalang aja kita nggak tega. Kalo ulet gimana dong? kan hama? ya kalo sudah terlalu banyak, tinggal disemprot aja nggak usah dipencet-pencet, apalagi disiksa dan dipermainkan. Ada beberapa binatang yang memang boleh dibunuh karena bahaya, tapi dibunuh ya, bukan dipermainkan, disiksa, ditarik-tarik kakinya, diputuskan sungutnya, dicerai-beraikan badannya padahal dia masih bergerak-gerak (keluhan adek ketika melihat temannya menyiksa nyamuk dan kupu-kupu di sekolah). Adek juga pernah mengeluh, disebut “gila” oleh teman-teman dan kerabatnya sendiri, karena suka ngajak ngomong hewan semisal kucing, anjing, dan burung. Salah satu kerabat pernah bercanda mengancam, kalo masih suka mengurus kucing terlantar, ngajak ngomong kucing, dlsb, nggak usah berkunjung ke rumah mereka lagi. Sejak itu, adek selalu menghindar kalo diajak berkunjung ke rumah kerabat tersebut, dengan alesan bermacam-macam. Belakangan barulah adek bercerita alesan sebenarnya. Adek lebih memilih mempertahankan kucing-kucingnya daripada memenuhi syarat berkunjung ke rumah kerabat tersebut.
Nah, entah gimana perasaan anak-anak yang menonton buaya dibantai tersebut? Apakah mereka akan menganggap itu hal yang biasa aja, atau melihat dengan miris, betapa kejamnya manusia, dan terbayang-bayang terus hingga dewasa? Semuanya kembali kepada lingkungan dan nilai-nilai dasar tempat anak tersebut dibesarkan. Kalo mereka dibesarkan di lingkungan yang sayang kepada binatang, kepada lingkungan, kepada hewan dan tumbuhan, pastilah mereka akan menderita dan terbayang-bayang. Dulu sekali, ketika saya masih muda, pernah “membantai” laba-laba “hamil” di kamar mandi. Laba-laba ini berukuran cukup besar, kira-kira berdiameter 4 cm, badan berwarna kuning strip hitam, kaki pendek dan kekar. Laba-laba betina ini sedang sibuk menyeret gumpalan telur-telurnya. Entah kenapa dia menyasar di lantai kamar mandi. Karena saya phobia dengan laba-laba, tanpa pikir panjang saya siram dengan karbol dalam jumlah besar, tanpa dicairkan, kemudian ditimpa dengan ember. Bagaimana si laba-laba itu tewas, masih terbayang hingga sekarang. Meski saat itu saya juga nggak membayangkan kalo saya biarkan laba-laba itu berkelana di kamar mandi. Hiiiy.. Setelahnya, saya sering terbayang karakter Charlotte, pada cerita “Charlotte’s Web”. Sekarang? Mending cari orang lain deh untuk menyingkirkannya, terserah mau dipindahin ke kebon atau kemana, yang penting saya nggak melihatnya. Tapi laba-laba kan bahaya? Iya bahaya. Hama juga ngkali? Ya hama, tapi tetap aja rasanya nggak enak menindas kumpulan telur laba-laba segitu banyak. Deuh dasar phobia….
Back to topic deh. Memang mengajarkan sayang ke satwa ini nggak mudah, apalagi lingkungan rata-rata tidak mendukung. Lingkungan memandang aneh jika kita peduli pada hewan. Lingkungan membiarkan ketika anak-anak mengejar bebek dan ayam tanpa sebab, melempari angsa di kolam, melempar dan menusuk-nusuk anjing dalam kandang, hanya karena “senang” mendengar mereka menggonggong. Lingkungan tidak menegur ketika anak mematahkan tanaman tanpa alasan yang jelas, mencabuti kelopak bunga yang baru saja merekah, mencabuti daun muda tanpa penggunaan yang jelas, hanya bersenang-senang. Deuh, mosok siii segitunya? Tapi konon itulah dasar mencintai alam, jangan mengganggu, jangan berbuat sia-sia, ambil yang dibutuhkan sebanyak yang diperlukan, jangan berlebihan. Coba aja baca-baca, bagaimana Hiu menjadi langka? Karena manusia cuma senang makan “sirip hiu” yang katanya hidangan mahal di restoran. Hiu dibunuh hanya untuk diambil siripnya? Haduuh.. Belum lagi kasus bison dibantai gegara macem-macem, ada yang bilang hanya diambil lidah, ada yang hanya diambil bulu, dan lain-lain. Sebanyak apa? Lihat aja gambar tumpukan tulang bison di bawah ini. Miris ya…? Padahal orang-orang Indian membunuh bison paling beberapa ekor dalam sekali penyergapan. Mereka mengambil secukupnya, semua bagian tubuh bison dimanfaatkan, tanduk, daging, kulit, semuanya dijadikan bahan makanan, bahan baju, tenda, serta peralatan sehari-hari. Orang Amerika (imigran ke Amerika)? mereka cuma mengambil kulitnya. Daging dan sisa badan bison lainnya dibiarkan membusuk di prairi. Pernah saya membaca kisah bagaimana para Indian putus asa, setelah berjalan jauh berratus kilometer, mencari ladang Bison, ternyata yang ditemui hanyalah ratusan bison mati membusuk menghampar di padang rumput, nggak bisa diapa-apain. Hadeuuh… memang mengerikan sih kelakuan manusia perusak itu.