Roda Berputar

 


Some say, “Eat or be eaten”
Some say, “Live and let live”
But all are agreed as they join the stampede
You should never take more than you give

 

Okelah..

Segala sesuatu ada masanya,
masa keemasan
masa kebahagiaan
masa ketika segalanya sangat mengasyikan, menantang dan menggairahkan
Tapi, seperti halnya roda berputar
maka segala sesuatu dapat saja dipergilirkan.
Demikian juga halnya dengan kesenangan
dan berlalulah kesenangan menulis itu..

Apaaa?
Kesenangan menulis?
Memangnya apa senangnya menulis?

Ya.. buat saya, yang terlahir dari desa, dan bercita-cita sangat sederhana [seperti halnya dinyanyikan oleh Ebiet G Ade] :bisa menulis ngilmiah, kemudian dipublikasikan, dibaca, apalagi sampe disitasi oleh tulisan ilmiah lainnya, rasanyaaaaa gimanaaaa gitu.. Bahagiaa bangeeet deeh..

Seperti kata pepatah, Bahagia itu sederhana, iyaaah kaaan?

Maka, saya dengan suka rela dan bahagia melakukan itu semua. Sedikit demi sedikit, bit by bit,saya kumpulkan portofolio tulisan di jagad maya. Sejak pertama mengirimkan artikel tahun 2006, yang kemudian lanjut sampai level candu, segalanya seolah-olah menarik untuk ditulis. Belum lagi pengembaraan dari satu seminar ke seminar lainnya, bertemu banyak orang, membaca tulisan orang, melihat presentasi orang. Semuanya ada keasyikan tersendiri.
Siapa yang peduli dengan indeks scopus? Siapa yang peduli dengan H-Index? Sebodo amat, saya tulis apa saja yang terlintas di kepala, apa saja.. apa saja yang menarik. Kadang-kadang topik itu melintas begitu saja ketika browsing sesuatu. Mirip kayak cewek mau belanja ke mall, niatnya mau beli sepatu, pulang-pulang malah bawa tas sama baju, sepatunya sama sekali nggak jadi beli.  ?
Semboyan saya sederhana, sesederhana dan serendah motivasi saya dalam menulis:  write it, send it and forget it.

Seperti halnya cerita-cerita dalam sejarah, selalu ada huru hara menyerang negara nan tentram dan damai. Begitulah konon katanya kejadian di negeri entah berentah, seperti dalam cerita Jack dan pohon kacang, eeeh Jack and the Beanstalk, ketika datang raksasa menyerang negeri yang indah, kemudian segalanya jadi gelap dan mati, air tidak mengalir, pohon-pohon mengering, dan panen gagal, semua gegara raksasa iseng yang nyolong maskot negara itu, sebuah harpa emas. Maka, demikianlah ada masa serangan raksasa, yang mengubah seni menulis menjadi sebuah industri – industri paper, industri sitasi, dan industri publikasi. Kata industri mengacu pada proses yang singkat dan massal. Semua bisa diotomatisasi. Semua bisa diefisiensi dan disimplikasi. Jika sebelumnya menulis paper butuh waktu lama, misalnya 1-2 bulan, maka sekarang mungkin cukup 1-2 minggu. Jika sebelumnya, perlu waktu minimal 3 – 4 bulan sebelum paper tersebut dapat tampil di sebuah prosiding, bahkan lebih lama lagi jika ingin naik tayang ke indeks scopus, dan lebiiih lamaaa lagi hingga akhirnya disitasi, satu, dua, hingga puluhan, perlu waktu mungkin 3-4 tahun lebih. Sekarang? dengan berbagai inovasi, otomatisasi dan industrialisasi yang terintegrasi di berbagai sektor, maka semua itu dapat dilakukan dalam hitungan jari, jari sebelah tangan. Cukup sekian minggu tulis paper, cukup sekian minggu kirim, cukup sekian minggu datanglah LoA, cukup sekian minggu publish, dan cukup sekian bulan, tak sampai jumlah jari satu tangan, untuk disitasi, yang bisa mencapai puluhan.

Bagaimana bisa?
Gampang saja, pada jaman modern ini, jika kita bisa melakukan crawling data-data dari internet, melakukan data mining, ontology, dan berbagai istilah keriting lainnya, pada obyek-obyek penelitian, mengapa hal yang sama tidak dapat kita lakukan pada paper? Toh cara kerjanya sama dengan obyek yang berbeda. Tinggal buat semantic network, A temenan sama si B, B temenan sama si C, C maen sama si D, D kenal sama si E, maka di setiap node pada paper tadi, bisa kita sisipkan satu dua nama dari semantic network yang sudah kita bikin. Gampang kan?
Tentunya, untuk melakukan itu kita perlu tim. Jaman modern ini, nggak mungkin lah kita kerja sendirian. Jargon-jargon utama seperti collaboration, team-work, dev-ops, scrum dan lain-lain, perlu juga diterapkan. Janganlah semua istilah itu hanya jadi hiasan dalam paper-paper kita saja. Kita koar-koar pada paper bahwa, dengan adanya internet, orang bisa bekerja lintas negara, lintas wilayah, lintas fungsi, dalam hitungan detik. Mana contohnya? Masa sih itu cuma omdo, teori-teori saja?

Nah, produk dari industri paper ini menunjukkan hal tersebut. Pada paper dapat dilihat hasil nyata kolaborasi itu. Semua bisa saja terjadi, lintas negara, lintas wilayah, bahkan lintas ilmu, istilah kerennya, lintas disiplin.
Nggak percaya? Lihat saja, ada paper tentang software engineering yang mencantumkan referensi dari paper tentang kesehatan, psikologi bahkan energi listrik. Ada paper tentang IT yang terbit pada jurnal psikologi, dan mungkin besok-besok ada juga paper tentang psikologi yang terbit pada jurnal tentang IT. Ada penulis dari bidang manajemen tetapi mampu membuat paper tentang teknik sipil. Ada kombinasi sekian banyak penulis dari berbagai universitas dan lintas negara.

Teknik dev-ops dapat dilihat dari cepatnya paper itu bermigrasi dari satu status ke status lainnya. Ketika dikirim awalnya masih berupa draft, dalam hitungan minggu dapat langsung terbit. Tentunya proses testing dan revisi akibat testing dilakukan langsung dalam sistem cloud yang sangat modern, selayaknya CI/CD pada dev-ops. Tidak perlu dilakukan offline, apalagi sampai harus bolak balik penulis-reviewer-penulis-reviewer seperti pendekatan jadul itu.

Scrum? Apalagi!! Gampang itu!! Pada scrum dikenal istilah sprint yang mampu menghasilkan produk yang bersifat minimum viable product -MVP- (thanks to Prayudi Utomo yang mengenalkan saya dengan istilah MVP ini), maka prinsip MVP pada paper bisa diterapkan dengan mudah, dengan membuat paper yang isinya irit, irit penjelasan, irit analisis, irit hasil, cukup 3 – 4 halaman, bahkan ada beberapa yang lupa diberi kesimpulan. What? tanpa kesimpulan? kok bisa? Yabisaaalaaah.. kan kita pake pendekatan scrum. Siapa juga yang perlu kesimpulan? Pembaca itu perlu hasil, perlu sesuatu yang bekerja dengan baik. Hasil dan pembuktian itu tentunya tidak ada pada kesimpulan kan?
Bukan hanya dev-ops, bahkan industri ini juga somehow somewhere kadang-kadang menerapkan prinsip resiliensi, dengan melakukan redundancy pada lebih dari satu jurnal. Eeiiits!! jangan nuduh sembarangan lho.. Hal itu semata-mata untuk menjaga agar SLA tetap terpenuhi. Ketika request datang dari pembaca, dan salah satu jurnal fail to deliver the content, maka akan otomatis tergantikan oleh sumber dari jurnal lain yang isinya sama persis sis.. (inget kan, redundancy salah satu prinsip menjaga resiliensi services? dan harus elo inget, redundancy dan resiliensi itu harus dirancang dari awal, nggak bisa mendadak dangdut suatu sistem ujug-ujug auto-resilien).

See? Bagaimana mudahnya prinsip dev-ops dan scrum bekerja dengan baik pada industri paper ini.

Maka, selaku orang sederhana dan gaptek dengan pesatnya perkembangan industri saat ini. Saya, secara sadar, merasa tertinggal jauh pada situasi ini. Saya, entah kenapa, belum bisa menikmati industri ini. Saya, mungkin termasuk orang jadul, yang lebih terkagum-kagum pada batik tulis, ketimbang batik printing. Saya, mungkin orang konvensional, yang lebih suka gaya waterfall daripada gaya yang rada-rada Agile (agak gile) ini. Lebih jauh lagi, perubahan paradigma ini mengganggu kreativitas saya, menutup inspirasi dan mematikan semangat. Bagaimana nggak tertutup inspirasi, ketika salah satu paper saya yang tanpa kesimpulan, tiba-tiba terbit. Hal itu membuat saya takut dan tergagap-gagap. Perlukah saya tetap menulis? Apakah saya akan percaya terhadap proses tulis-menulis itu? Andaikan paper saya yang masih bersifat MVP sprint 1 itu terbit pada jurnal X, apakah paper-paper pada jurnal X itu juga bersifat MVP sprint 1, dikebut dengan teknik dev-ops yang sembarangan, tanpa proses testing yang jelas? Lebih ngeri lagi, bagaimana jika paper saya itu di-sitasi orang. Bahkan lebih ngeri lagi, bagaimana jika yang mensitasi ternyata masih dalam satu rangkaian graph semantic network saya sendiri. Tak terbayang malu rasanya.

Malu? Boohoong aaah!! Bukannya senang? Paper langsung publish pada sprint 1? Iya sih, nggak perlu bohong dan munafik, emang seneng sih. Siapa yang tidak senang ketika batik tulis yang tadinya sulit didapat, lama bikinnya, dan harganya mahal, tiba-tiba berubah jadi batik printing yang bisa dibeli meteran di pasar. Hanya sayangnya, rasa senang itu tertinggal hanya sebentar. Selanjutnya yang ada hanya rasa rindu, rindu melihat nenek-nenek tua yang penuh rasa cinta menorehkan cantingnya pada lembar kain batik, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.. Rindu ketika saya pernah harus membereskan sitasi sampai satu harian penuh, karena bolak balik dientrikan ke sebuah tools, gegara banyak sitasi bodong dan ngawur. Rindu ketika saya pernah merevisi paper yang dihujat habis-habisan oleh reviewer, dengan konten revisi melebihi 50 item untuk paper sejumlah 25 halaman, dibilang border paper, nggak layak de-el-el, dan seribu kejulidan reviewer lainnya. Rindu dengan rasa ngenes ketika paper tertolak angin, kemudian ngeloyor sambil menghibur diri, “you are not the only one“. Kemana rasa itu sekarang? Semua jadi menguap, ketika bertemu teman-teman yang dengan bangganya berkata-kata, bahkan dengan suara kencang, “Bulan ini saya sudah mempublikasikan tiga paper“. Whaat? bukan hanya menulis, tapi langsung publish.

Seperti yang saya sebutkan di awal, roda berputar, semua dipertukarkan, yang tadinya sulit sekarang jadi mudah, yang tadinya mudah, sekarang jadi sulit. Dulu, sulit sekali membuat paper diterima di sebuah jurnal berkelas. Sekarang? Easy peasy lemon squeezy. Dulu, sulit sekali buat mahasiswa menyelesaikan skripsi atau tugas akhir, berkali-kali menulis, bongkar pasang dengan pembimbing. Sekarang? Tring.. sim salabim.. gampang deeh.. Dulu, sulit sekali mempertimbangkan apakah satu paper akan kita sertakan sebagai referensi. Sekarang? Gampse cyiin..!! Bahkan untuk paper yang nggak nyambung kayak jaka sembung bawa golok saja bisa dengan nyaman bertengger di daftar referensi. Dulu, satu persatu kita memeriksa gaya sitasi, sekarang, kita bisa baca paper dengan gaya sitasi gado-gado, setengahnya bergaya APA-style, setengahnya lagi tiba-tiba bergaya IEEE.  Hybrid, istilah kerennya.  Dulu, menulis paper berbahasa inggris itu susah banget, sampe bolak balik kita cek grammarnya, meski dengan bantuan google translate, grammarly, dan lain-lain. Sekarang? no-worries laaah, textnya serahkan pada google translate, gambar-gambarnya biarin pake bahasa Indonesia, nggak usah di-translate setiap kata-kata pada gambar tersebut. Karena untuk itu anda harus gambar ulang. Maless kaan? Lagian, itu kan tandanya kita bangga dengan bahasa kita sendiri. Iyaaa nggak seeeh?? ??

Sebaliknya, yang dulu mudah, sekarang kok jadi sulit yak? Dulu, dengan mudahnya kita menilai jurnal A itu bereputasi, berdasarkan paper-paper yang publish di jurnal tersebut, atau berdasarkan hasil pemejengan ranking yang terpampang pada situsnya. Sekarang? jadi rada-rada gimanaaa gitu? Persis kayak liat cowok ganteng berotot, taunya pas ngomong “Aaiih kamu lutjuu deeeh..”. Langsung illfeel kan, hilang selera makan, dan berasa ketelen cilok 3 biji sekaligus. Dulu, dengan mudahnya kita langsung terkagum-kagum jika ada paper disitasi banyak orang. Sekarang? yang ada kok curigaan terus sih. Ini bener-bener mensitasi atau sekedar penganut aliran jaka sembung bawa golok sih?   ??
Dulu, kita bisa menilai “reputasi” penulis dari banyaknya paper yang dia tulis, mesti orang ini kereen, tulisannya banyak, disitasi banyak orang, masuk jurnal yang cetar membahana. J.K. Rowling mah lewaat.. J.K. Rowling itu, meskipun laku keras bukunya, dia cuma bisa nulis 13 buku dalam sekian tahun. Temenku ini bisa lho nulis puluhan paper dalam satu tahun.. Inget yaaa, SATU tahun, nggak perlu sekian tahun. Mosok kamu nggak kagum sih?
Eeehm, entah ya.. soalnya sengotot-ngototnya saya nulis, maksimal 1 tahun cuma bisa nulis 6 paper. Pernah juga 1 tahun publish 3 buku, tapi 2 dari 3 buku itu sudah saya miliki naskahnya dari 7-8 tahun yang silam, ibarat cuma tinggal edit sana edit sini.

Tapi, dibalik sekian alasan yang sejujurnya berbau “Blame-Someone-Else Anti-Method“, sesungguhnya saya memang lagi malas menulis, dulu nggak mahir-mahir amat, sekarang malas. Jadi lengkap kan implementasi method di atas.

Ini saya kutipkan method-nya:

  1. Find a system or environment component you are not responsible for
  2. Hypothesize that the issue is with that component
  3. Redirect the issue to the responsible team
  4. When proven wrong, go to 1

Jadi, memang benar, seperti untaian kata yang saya tulis di paragraf awal, roda terus berputar, segala sesuatu sedang dipergilirkan. Selaku orang jadul, saya ingat lirik dari lagu tua yang berjudul “Apatis“, lagu tahun 1978, ciptaan Ingrid Widjanarko yang  masuk pada album Dasa Tembang Tercantik 1978 (uwoow.. jadul bangeet). Oh ya, Lagu ini katanya dipake OST filem apa lah, tapi yang saya denger versi originalnya slow-slow aja, ini video saya pilihkan yang versi jadulnya ya. Apakah saya  apatis? Nggak juga sih.. Cuma males aja. Meskipun saya tahu, kadang-kadang apatis dan males itu beda sedikit. Tapi saya pilih yang “sedikit”-nya itu sebagai pembenaran.

Apatis (Ingrid Widjanarko, 1978)

Roda roda terus berputar
Tanda masih ada hidup
Karna dunia belum henti
Berputar melingkar searah

Terik embun sejuta sentuhan
Pahit mengajuk pelengkap
Seribu satu perasaan
Bergabung setangkup senada

Jurang curam berkeliaran
Tanda bahaya sana sini
Padang rumput lembut hijau
Itupun tiada tertampak

Sudah lahir sudah terlanjur
Mengapa harus menyesal
Hadapi dunia berani
Bukalah dadamu tantanglah dunia
Tanyakan salahmu wibawa …

Bukalah dadamu tantanglah dunia
Tanyakan salahmu wibawa …

Posted in Curcol, Menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *