Coco vs Wonder (??)

Lagi, tentang film yang sangat wonder(ful), tentang membangkitkan kepercayaan diri, tentang rasa ingin diterima, tentang berani tampil beda, tentang kejamnya perundungan, tentang keyakinan, tentang penghargaan, tentang kasih sayang, dan tentang hal-hal indah lainnya. Film dengan rating 8.1 di imdb ini (posisi terakhir 10 Des 2017), memiliki semua tema tersebut.

Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama, Wonder, karya R.J. Palacio. Novel ini sendiri diinspirasi oleh kisah nyata, mengangkat masalah anak-anak dengan craniofacial. Beda lho, kisah nyata beneran dengan inspired by. Di dunia nyata, karakter-karakter, lokasi dan peristiwa-peristiwa “dramatis” pada film ini tidak semuanya benar-benar terjadi.  Wonder bercerita tentang seorang anak yang memiliki bentuk muka yang sangat “aneh” (facial deformity), sebagai akibat operasi plastik berkali-kali, dikarenakan ada kelainan wajah saat lahir. Tumbuh sebagai anak dengan wajah yang aneh, merupakan cobaan yang berat bagi Auggie Pullman, karakter pada film ini. Apalagi ketika ibunya memutuskan untuk memasukkan Auggie ke sekolah umum.  Terbayang betapa groginya Auggie di hari pertama bertemu dengan teman-teman “normal”nya.  Sekolah, jangankan untuk anak-anak yang memiliki kelainan wajah, untuk anak-anak yang berwajah “normal” aja seringkali jadi tempat mengerikan.  Konon di sekolah berlaku hukum rimba, yang kuat yang berkuasa, yang lemah jadi bulan-bulanan.
Diceritakan pada film ini, bagaimana Auggie mengalami perundungan berkali-kali oleh teman-temannya, berusaha mencari teman sejati, plus juga bagaimana perubahan sikap teman-temannya terhadap Auggie. Intinya ada proses saling belajar, saling menerima akan perbedaan masing-masing. Sudah tentu tidak mudah bagi anak-anak untuk tiba-tiba menerima seseorang dengan wajah yang berbeda. Ditambah lagi mungkin tidak banyak anak yang diberikan bekal “persiapan” sebelumnya, bahwa di sekeliling kita, tidak semua orang berpenampilan “normal” seperti yang ada dalam bayangan mereka.  Mungkin masih banyak anak-anak yang terbiasa hidup di lingkungan dimana orang-orang yang lebih tua malah memberikan contoh saling mengejek atas kekurangan orang lain.
Film ini bercerita dalam beberapa persepsi, yaitu persepsi si tokoh,”Auggie”, persepsi Via, kakak perempuan Auggie, persepsi teman Auggie, JackWill, dan persepsi Miranda, teman Via.  Intinya, film ini mengajari kita memandang masalah tidak hanya dari satu pihak aja, dan tidak berusaha memberikan “cap” terhadap seseorang berdasarkan persepsi kita sendiri.  Misalnya, Miranda itu nyebelin yaaa? kakaknya kok baik banget ya.. dlsb. Film ini, mengajari penonton untuk mencoba sedikit melihat dan memikirkan, apa sih yang menyebabkan si A bersikap seperti ini? Film ini juga mengingatkan orang tua, untuk jangan lalai memahami kebutuhan anak. Anak tetaplah anak, meski sudah “remaja” atau kita anggap sudah “besar” dan harusnya lebih mengerti masalah orang tua, tetaplah sang anak memerlukan perhatian orang tuanya.
Dalam beberapa adegan, film ini cenderung masuk pada genre anak-anak dan remaja, dengan rating 13 tahun. Ada beberapa adegan ciuman (lha film kartun Disney aja ada kok), tapi selebihnya aman-aman aja. Contoh-contoh bullying yang disajikan di film ini memang cukup realistis. Begitulah anak-anak, mudah terpengaruh dan mudah dipengaruhi.  Misal, ketika diisukan bahwa wajah “tak normal” Auggie mungkin disebabkan oleh “wabah” menular, akibatnya tidak ada anak yang mau duduk satu meja dengan Auggie, bahkan bersalamanpun mereka takut tertular.  Memang kejam sih yang suka menyebar isu-isu tidak mendidik seperti itu. Kalo pelakunya anak-anak, memang masih bisa diingatkan dan dihukum, kalo pelakunya orang dewasa? Waah mengerikan sekali.  Dikarenakan film ini “hanya” diinspirasi oleh kisah nyata, detil masalah (masalah anak dengan kelainan wajah) tidak terlalu dibahas mendalam, apalagi menggunakan istilah-istilah medis. Masalah yang diangkat berpusat pada drama-drama seputar usaha penerimaan Auggie atas pandangan orang terhadap dirinya, dan usaha keluarga Auggie menumbuhkan rasa percaya diri.  Tentunya kisah ini berakhir happy ending, Auggie sukses di sekolah, bahagia, dan diterima oleh teman-temannya. Via juga sukses, Miranda jadi gadis yang baik. Akhir cerita ini sangat anak-anak sekali, tidak ada kesedihan mendalam, tidak ada korban, tidak ada derita,  semua bersikap manis dan berakhir bahagia. Musuh juga hanya satu, seorang anak bernama Julian yang akhirnya dipindahkan oleh orang tuanya.
Satu-satunya adegan yang cukup mengganggu itu ya urusan contek-mencontek. Dikisahkan Auggie yang pintar sains itu akhirnya menawarkan contekan kepada Jackwill ketika ulangan. Sebagai balasannya, sejak itu Jackwill jadi bersikap lebih ramah dengan Auggie dan “mendadak” berteman.  Mengapa mengganggu? Yaaa aneh aja sii, masak nyari temen lewat contekan? Di beberapa film lain, biasanya sanksi dan derita contek-contekan ini sangat besar, dibandingkan manfaatnya. Lha di film ini kok malah seolah-olah sebagai salah satu “cara” membuka persahabatan? [Eeh, cuma kepikiran aja sii.. takut ditiru anak-anak.. ooo gapapa ya nyontekin itu, demi menolong teman??]
Tapi? Baguskah jika ditonton anak-anak? Saya sendiri merekomendasikan, karena bagus untuk mengajari mereka agar dapat menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, memiliki percaya diri dan keyakinan, mau bekerja sama, berani melawan bully, dan tidak membully orang lain dengan alasan apapun.
Dengan Coco bagus mana? Hmm…. dari segi cerita, lebih “menantang” coco siih, meski Coco itu film kartun, tapi alur ceritanya lumayan bikin anak-anak kaget, “nggak nyangka” kalo kata Ayu.  Musik, dialog dan alurnya juga lebih bervariasi, plot nya juga agak nggak pasaran. Mungkin itulah sebabnya Coco diberi rating 8.9 oleh imdb. Tetapi, untuk anak-anak yang kurang gemar “bertualang” dalam dunia budaya dan musik, menonton Coco membuat kita perlu  menjelaskan banyak hal, misalnya apa itu mariachi,  apa itu hari orang mati, mengapa ada yang percaya dan merayakannya, dlsb.   Menonton Coco sangat asyiik, terutama untuk Ayu yang sudah terbiasa mendengarkan denting-denting gitar ayahnya, mendengarkan ayahnya memainkan beat-beat latin pada gitar, dan terus bermain gitar hingga Ayu tertidur. Ayu nggak bisa menahan gregetnya ketika menonton scene Miguel menyanyikan lagu “Poco Loco” yang diawali oleh hentakan gitar keras, persis seperti gaya ayahnya ketika memamerkan beat gitar spanyolan. Menonton Coco seperti mengingatkan Ayu akan ayahnya sendiri.. Hahaha.. lho kok malah melow sendiri?
Intinya, anda suka musik? Coco lebih siip.. Coco itu dinamis, ceria, meledak-ledak, dan penuh kejutan, plus bonus musik yang wonderful di beberapa bagian.  Alur cerita sulit ditebak, meskipun tetap happy ending. Oh ya, jangan lupa, film Coco ini dibuka oleh film “pendek” yang kepanjangan, yaitu tentang “Olaf” si boneka salju di Frozen. Durasi film “pendek” ini nyaris 30 menit. Bagus kah filem “pendek” nya?  nggak juga sii.. biasa aja.. rada bosen gitu juga siih.. nggak terlalu “cute” dan unik.

 

By the way, sebenernya saya lagi penasaran nunggu film berikutnya, Ferdinand, yang merupakan remake filem klasik Disney tahun 1938. Kayak apa ya versi remake-nya? Buat yang lupa-lupa inget seperti apa film Ferdinand versi klasik, berikut ini salah satu link-nya.

Posted in Explore, review.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *