Sering kerabat saya bertanya, kalo naik angkot Dago-Riung Bandung, tapi turun di Antapani itu, berapa ya ongkosnya? Waduuh susah menjawabnya, karena tarif ini seringkali sangat bersifat subyektif dan bergantung pada kesepakatan tidak tertulis, serta perasaan.
Angkot menganut tarif tunggal, misal Dago-Kebon Kelapa 5000, tetapi penerapannya bisa sangat bervariasi. Hitung-hitungan tarif ini tidak bisa menggunakan matematika biasa. Misal.. Dago-Kebon Kelapa 5000. Ketika anda naik dari Simpang Dago dan turun di BIP, anda akan membayar 4000, apakah artinya dari BIP ke Kebon Kelapa cukup membayar 1000?
Bagaimana jika orang hanya naik angkot tersebut dari Simpang Dago ke Dukomsel misalnya? Berapa ongkos yang harus anda bayarkan? Jawabannya sangat bervariasi, tergantung pada :
- Berapa uang yang anda berikan, jika uang pas (misalnya Rp. 2000), maka sopir angkot biasanya langsung menerima tanpa banyak protes. Jika anda menyerahkan uang Rp. 5000, sopir angkot biasanya akan mengembalikan Rp. 2000 (alias ongkosnya menjadi 3000). Hal ini karena secara psikologis, lebih mudah mengambil uang lembaran 2000 yang berserakan di depan dashboardnya, dan dia juga melihat reaksi penumpang. Penumpang segan, sopir angkot tenaang…
- Kondisi penumpang hari itu atau saat itu, jika penumpang ramai, sopir angkot juga tidak keberatan anda membayar senilai itu, karena, makin pendek jarak tempuh penumpang, makin banyak penumpang naik turun, makin banyak peluang pemasukan. Tapi kalo kondisi lagi sepi, anda bisa-bisa diomelin jika membayar 2000 untuk rute tersebut.
Dulu sering terjadi kerabat saya sangat ketat memperhatikan ongkos ini, karena untuk menempuh lokasi kerjanya, kerabat saya harus berganti 3x angkot. Jika kembalian kurang 1000 rupiah saja, kerabat saya akan ngotot menagih. “1000 lagi pak…”. Lantas bagaimana reaksi sopir angkot ketika ditagih kekurangan kembalian? Banyak yang balas ngotot dengan ngomong… “Duh si ibu.. duit seribu kan nggak seberapa…”. Lantas sodara saya akan menimpali..”saya kan harus naek angkot lagi pak.. beberapa kali..”
Ada beberapa cara mengatasi perang tarif ini, tapi setiap cara ada resikonya, misalnya :
- Siapkan uang pas, jadi pak Sopir nggak repot-repot mengembalikan dan anda bisa menggunakan gerakan “abis mbayar trus kabur”. Tapi gerakan terakhir ini juga dalam beberapa kasus nggak efektif. Di satu saat, saya pernah melihat sopir angkot meninggalkan angkotnya, lari mengejar penumpang yang dianggapnya kurang bayar. Lalu pak Sopir mengomeli penumpang dengan kata-kata kasar di depan umum.
- Jelaskan bahwa tujuan anda dekat, tanyakan kekurangan kembalian. “Pak, dari Ganesha ke Simpang Dago kan deket, masak 3000?”. Sukses? Belum tentu, kalo anda sial, pak sopir akan menjawab “Kalo deket mah jalan kaki aja neng…”.. Jreng..jreng..jreng.. kesel kaaan…
- Sebutkan lokasi yang mudah dikenali oleh sopir angkot, untuk memudahkan sopir angkot menaksir ongkos anda. Salah penyebutan tempat, bisa menggiring kekeliruan persepsi sopir angkot, dikiranya itu lokasi yang jauh, padahal deket. Misal, jika anda naik angkot dari “warung steak” yang dekat Sekeloa, jangan menyebutkan “warung steak” ketika ditanya “darimana naiknya?”, cukup sebutkan “Sekeloa”. Pernah sekali ada penumpang menyebutkan “Warung steak” dan membayar 5000 ketika turun di Simpang Dago. Pak Sopir mengembalikan 1000 sajah. Si penumpang ribut.. itu warung steak deket…. Lantas saya menambahkan, “Sekeloa Pak”….Ooo Sekeloa.., kata pak Sopir sambil mengambil recehan menambah kembalian ongkos. Pak Sopir yang tidak tahu nama suatu jalan yang tidak umum, misalnya, nggak bakalan nanya balik “Dimana sih itu?”.
- Minta kembalian sambil menegaskan bahwa anda mengerti tarif, misalnya “Naik dari Ganesha, biasanya 2000′. Kalo nasib baik, anda akan tersenyum, kalo nasib buruk, paling diomelin lagi sambil menerima kembalian sesuai selera sopir angkot.
Tidak semua sopir angkot menerapkan tarif ongkos sesuai selera. Banyak juga sopir angkot yang sangat mengerti kondisi penumpang, misalnya anak sekolah. Ada juga yang sudah paham tarif umum sehingga menerima pembayaran penumpang tanpa banyak masalah. Lantas bagaimana menaksir tarif yang tepat? Saran saya, kalo kita nggak paham berapa tarifnya, sebaiknya jangan turun duluan (kalo misalnya di tempat pemberhentian tersebut banyak penumpang turun). Turun belakangan dan perhatikan berapa penumpang lain membayar dan bagaimana sikap pak Sopir. Kalo pak Sopir langsung menerima ongkos tanpa banyak ribut, anda bisa membayar seperti penumpang lain membayar. Kalo pak Sopir selalu ribut sepanjang jalan, setiap kali ada penumpang turun dan membayar ongkos pas, berarti anda siap-siap dengan uang receh lebih untuk menambah ongkos perkiraan anda.
Omong-omong perang tarif, selaku angkotmania, saya sudah kenyang menghadapi berbagai perilaku angkot.
Jaman dahulu, ketika masih ada kernet (semacam kondektur), yang tugasnya mengatur penumpang naik, menarik ongkos, menawarkan angkot ke penumpang, seringkali keributan terjadi dengan kernet. Misal, pernah sekali waktu saya ngotot membayar dengan uang pas, ketika ditagih saya nggak mau nambah, dan menjawab “aah biasa tarif segitu”. Si kernet nggak kalah keras ngomong.. “biasa mah naek mobil sendiri aja neng”. Karena kesel, saya menjawab lagi , “lah saya naek angkot ini tiap hari”. Ketika turun, si kernet ngomong dengan keras, mungkin maksudnya mempermalukan, “ah si neng, nggak bakalan kaya dengan duit segitu..”. Saya jawab dengan santai “Samaa.. aa kernet juga nggak bakalan kaya dengan duit segitu..”
Pernah sekali waktu, ketika masih jadi pelajar, naik angkot Cicaheum Ledeng yang terkenal suka ngetem, dan sopir serta kernetnya galak-galak, saya membayar uang pas. Si kernet menagih tambahan, saya bilang nggak ada, karena jatah ongkos saya memang pas-pasan. Si kernet ngomel-ngomel, saya tetap dieeem nggak peduli. Eeh, puncak kekesalannya si kernet melemparkan duit receh ongkos saya ke lantai angkot sambil ngomong “Niih makan aja tuh duit…”. Terus?? Ya saya pungut dengan tenang.. sambil ngomong “Terima kasih” kemudian cepat-cepat turun dari angkot tersebut.
Demikianlah seninya naik angkot….