[Ilustrasi Tukang Ojek, Komik Benny & Mice]
Hari ini Bandung mengeluarkan kesepakatan yang menurut saya, super duper aneh, yaitu melarang angkutan online, dengan alasan agar ada keseragaman aturan dengan angkutan konvensional. Okelah, setuju, tapi betewe, bagaimana dengan ojek-ojek yang nongkrong di pangkalan tersebut? Apa mereka juga boleh dilarang?
Artikel ini saya tulis karena saya sebenernya kesel nggak kesel dengan adanya kesepakatan tersebut. Kesel sudah pastilah, secara saya pengguna transportasi online hampir setahun terakhir, merasa terbantu sekali dengan adanya transportasi tersebut. Kalo dilarang, bingung juga, masak harus kembali ke masa-masa muram jaman dahulu? Ketika dengan kesel dan bete harus tunduk pada aturan perojekan yang nggak jelas tersebut.
Bukan berarti ojek pangkalan atau ojek tidak online itu nggak menolong ya.. Banyak lho masyarakat yang tertolong dengan kehadiran mereka. Terutama yang tinggal di pelosok-pelosok, jauh dari mana-mana, kehadiran ojek non formal ini menjadi alternatif yang sangat membantu transportasi warga.
Misal?
Pernah saya mengunjungi satu daerah di Garut, mengantarkan asisten rumah tangga yang pulang kampung. Dari jalan raya, tempat bis menurunkan kami, perjalanan dilanjutkan naik ojek sekitar 1 jam lebih, seharga 10 ribu saja, menjelajahi medan yang warbiyasak mengerikan, mulai dari berbatu-batu, curam, menanjak, miring, dan sebagainya, TANPA HELM. Oh ya, tarif 10 ribu ini tahun 1990 an ya. Mungkin sekarang 50 atau 100 ribu.
Di kota-kota besar, sebelum kehadiran ojek online, ojek non formal ini banyak bertaburan di depan gedung-gedung perkantoran, trotoar tempat pedagang berkumpul dan lain-lain. Dengan tarif 10 ribu saja (sekitar 10-15 tahun yang lalu), kita bisa menjelajahi Jakarta lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan bis dan terjebak macet berjam-jam. Terakhir saya menggunakan ojek ini sekitar 10 tahun yang lalu, ketika mengejar travel di seputaran Sudirman. Si mang Ojek dengan sigap menerobos kemacetan lalu lintas Jakarta menuju daerah SCBD. Jalan yang ditempuh benar-benar ajib, misalnya, naik trotoar, mengemudi melawan arus, bahkan menerobos jalur masuk kendaraan ke hotel/perkantoran untuk mencari jalan pintas. Waktu itu saya senang-senang aja sih, yang penting nyampe tujuan tepat waktu. Tapi, karena kondisi jalan di Jakarta yang super duper menggila, saya sempat komat-kamit berdoa di sepanjang perjalanan, takut tersambar motor atau kendaraan lain.
Masalahnya, naek ojek yang tidak online ini tidak semudah dan senyaman ojek online. Kenapa?
- Susah mengenali, mana ojek mana yang ngejemput sodaranya. Di tempat-tempat tertentu, kalo mereka tidak menawarkan diri, kita harus rada lama mengamat-amati apakah mereka itu ojek atau yang sedang menjemput/menunggu orang.
- Tarif tidak standard, tergantung kepintaran kita menawar dan memperkirakan jarak. Kalo kita belum tau lokasi tujuan, bisa-bisa dibilang jauh, atau dengan alasan keluar “trayek” mereka bisa menetapkan tarif sesuka hati.
- Motor yang digunakan kondisinya bervariasi, kebanyakan motor dengan kondisi pas-pasan, entah knalpot berisik, mesin yang kadang-kadang ndut-ndutan di jalan, ataupun shockbreaker yang sudah nyaris tewas.
- Helm yang ditawarkan ke penumpang biasanya dalam kondisi “horor” dan nggak karuan. Selain penampakan helm yang sudah mengerikan, tali helm yang kadang-kadang sudah nggak ada, kaca helm juga nggak ada, helm longgar tak karuan, dan yang lebih bikin kesel, aromatique alias mambune…., sampe-sampe menempel ke jilbab saya yang baru fresh gress dipake paginya. Di beberapa trayek, seringnya nggak tersedia helm, karena helm digunakan untuk menghindari tangkapan pak Polisi, bukan untuk mengamankan kepala anda.
- Kostum si mang Ojek, ya namanya juga di jalan, jaket yang sering sudah aromatique dan sepanjang jalan kita terpaksa menikmati aroma jaket si mang Ojek.. hehehe..
Tapi karena waktu itu tidak ada pilihan, ya dinikmati saja kondisi ojek tersebut.
Selain masalah di atas, ternyata di per-ojekan sendiri berlaku premanisme, terutama ojek pangkalan. Entahlah, apakah para bapak-bapak pejabat itu tau bahwa di setiap pangkalan ada para penguasa lokal yang akan menetapkan tarif trayek untuk para tukang ojek. Jadi, kita nggak seenaknya tiba-tiba pengen jadi ojek di pangkalan A misalnya. Satu pangkalan punya tarif tertentu. Misal, saya pernah mendengar cerita dari salah satu rekan, untuk rute ojek dari Dago Asri ke daerah Cisitu Lama, dikenakan ongkos beli trayek senilai 2 juta. Dua juta brooo.. duit yang sangat besar, ini kisah 10 – 15 tahun yang silam lho… Setelah mereka menjadi tukang ojek di pangkalan tersebut, mereka nggak bisa seenaknya berpindah rute atau mencari trayek lain, karena setiap trayek sudah ada preman dengan ongkos trayek tersendiri. Jadi, mereka akan setia menunggu penumpang di trayek tersebut. Jika sedang sepi penumpang, mereka akan nongkrong berjam-jam di pangkalan, ngerumpi, ngerokok, main gapleh dlsb. Jika ada satu penumpang ingin naik ojek, mereka sudah punya waiting list, siapa yang harus jalan duluan. Kita tidak bisa memilih mang ojek atau motor ojek mana yang ingin kita naiki. Misalnya pas giliran kita datang, ternyata kebagian tukang ojek yang motornya butut atau penampilannya awut-awutan, ya apa boleh buat. Berapakah penghasilan mereka di satu trayek? Tidak menentu, misalkan, satu rute ojek jarak dekat (sekitar 3-5 menit jarak tempuh), dikenai tarif 5 ribu, sehari paling-paling mereka mendapatkan 20 – 30 ribu. Penghasilan senilai tersebut, harus dipotong lagi dengan bayar preman, biaya nongkrong, beli kopi dlsb.
Bagaimana kalo kita, karena sangat terdesak dan buru-buru, ingin menyewa mereka keluar dari trayek? Ini harus nego lagi dengan harga yang entahlah, berapa ya kira-kira? 10 tahun yang lalu, rute dari Dago Pojok ke Batununggal, diminta sekitar 30-35 ribu. Dengan taksi ber-argo, jarak tersebut menghabiskan sekitar 40-45 ribu. Pilih mana? Tapi kalo taksi kan nggak bisa berkelit menghadapi kemacetan. Tarif 30-40 ribu juga pernah terpaksa saya bayarkan ke tukang ojek untuk rute Dago Pojok – Dago Resort – Pahlawan, sepuluh tahun yang lalu lhooo.. bukan sekarang.
Banyak cerita lucu soal ojek pangkalan ini. Salah satunya cerita kerabat saya yang kesal dengan istrinya, yang selalu minta jemput sehabis belanja di pasar dekat kompleksnya. Padahal di pasar banyak ojek. Alasan istrinya adalah, nggak kuat bau jaket si mang Ojek. Atau teman saya yang punya ojek langganan bulanan untuk mengantar kemanapun dia pergi, dengan tarif sekitar 600-800 ribu per bulan, flat, mau kemanapun selama sebulan. Teman saya ini aktivitasnya mengajar di seputaran Jl. Suci dan Gerlong. Kerabat saya di Jakarta dulu juga punya ojek langganan, yang setiap pagi dan sore mengantar dan menjemput dia pergi dan pulang dari kantor, di seputaran Tanjung Priok ke daerah Mampang, dengan tarif 20 ribu sekali jalan.
Mengapa tidak pake angkot atau Bis aja? Oh ya? Dulu, ketika saya masih menggunakan angkot, untuk mencapai rute Dago-Dayeuh kolot dibutuhkan waktu 1 jam 40 menit sampai 2 jam, terutama siang hari. Angkot jurusan Kebon Kelapa – Mengger menempuh rute dari Jl. Sukaati di Soekarno Hatta sampai di Jl. Telekomunikasi Dayeuh Kolot sekitar 40 menit. Angkot ini hanya hadir setiap 20 menit sekali, dan tidak berangkat dari Kebon Kelapa jika tidak penuh penumpang. Jika kita mencegat angkot ini di dekat kebon kelapa, pada jam-jam sibuk, seringkali penuh, dan harus menunggu angkot berikutnya dan berharap semoga angkot tersebut tidak terlalu penuh.
Jadi? Enak mana dengan ojek online?
Kalo pemerintah ingin menertibkan ojek online, dengan menetapkan pajak, plat nomer khusus, SIM khusus. Saya juga usul supaya hal yang sama diberlakukan juga untuk ojek pangkalan. Apakah semua pengemudi ojek pangkalan punya SIM?. Apakah plat nomor motor yang digunakan di ojek pangkalan masih aktif masa berlakunya? Maka barulah permintaan yang “tidak aneh-aneh” tadi bisa dipenuhi dan dilaksanakan bersama-sama.