Dichotomy :
A dichotomy is any splitting of a whole into exactly two non-overlapping parts, meaning it is a procedure in which a whole is divided into two parts. It is a partition of a whole (or a set) into two parts (subsets) that are:
- jointly exhaustive: everything must belong to one part or the other, and
- mutually exclusive: nothing can belong simultaneously to both parts
Opposite of dichotomy : HARMONY
and what is harmony ?
Harmony is a term arising from music and it describes the process of playing or singing two or more different notes at the same time to form chords.Usually this produces sounds which are pleasing to hear and so the term is also used in a non-musical sense to describe people or a system working together in a pleasing way.
Katanyaaaa… katanya lhoo.. manusia itu nggak mau dibeda-bedain. Mereka menuntut persamaan, kesamaan hak dan kewajiban, kesamaan status dan perlakuan hukum dlsb. Tapi, menurut sayaah, justeru manusia itu sendiri doyan sekali membeda-bedakan segala sesuatu, bangga jika merasa berbeda, bangga jika bisa membuat garis yang berbeda. Kamu itu kelompok sana, sedangkan saya kelompok sini.
Emang salah gitu ngebeda-bedain? Nggak siiih, asalkan implementasi dan konotasinya positif. Itu sudah sifat dasar manusia, nggak mungkin lah samaaa semua perlakuannya. Orang tua aja kadang-kadang ke anak-anaknya ngebeda-bedain, apalagi ke orang laen, sodara bukan, adek bukan, tetangga bukan. Tapi kalo gegara berbeda tersebut terus memberlakukan hak sewenang-wenang atau nggak adil, tebang pilih, nggak obyektif, nah itu baru masalah.
Trus, yang mau dibahas di artikel ini tuuh fenomena kenapa kalo seseorang masuk lingkungan baru, selalu harus di”kerjain” alias di “Ospek”, yang aslinya berarti “orientasi studi dan pengenalan kampus”. Sesuai judulnya, mestinya isinya sih kenalan tentang lingkungan kampus, dimana jajan yang enak, bagemana ngurusin KTM kalo ilang, siapa aja dosen-dosennya, dlsb. Tapi prakteknya seringkali jadi arena perbully-an hingga level keterlaluan, bahkan sering jatuh korban.
Coba aja liat berita korban-korban ospek berikut:
http://www.fajar.co.id/read-20111010210134-maba-mipa-unhas-tewas
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/10/30441-itb-bentuk-komisi-disiplin-usut-korban-ospek
http://nasional.vivanews.com/news/read/92584-polisi_periksa_panitia_ospek_kampus_stsn
Kalo dah ada korban jiwa gitu, mau nyalahin siapa coba? Siapa yang kudu tanggung jawab coba? Bagusnya sekarang sih dah berani mengangkat kasus kek gitu ke ranah hukum, meski masih banyak juga yang nutup-nutupin, dengan alasan menjaga nama baik kampus. Padahal itu perbuatan kriminal, orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, apalagi kalo sampe mengakibatkan kematian orang laen.
Anehnya, makin “macho” suatu jurusan, ospek-nya kok makin “seram” ya.. kesannya kalo nggak serem nggak berwibawa itu para seniornya. Kasarnya.. ‘Hooi.. masuk himpunan kami itu nggak gampang lhoo.. kalian harus merasakan kerasnya kehidupan..”. Betewe.. itu senior-senior yang nge-OS, emang dah ngerasain susah kek gimana? Jangan-jangan cuma begaya-gaya an doang di depan junior, eeh pas akhir bulan dia ngemis ke temennya ngutang gegara belum dikirim ortunya, atau mewek pas ditangkap polisi gegara nyiksa orang secara berjamaah.
Dulu, waktu masih mahasiswa, saya juga menentang ospek dengan keras, sekeras-kerasnya, sampe nggak ikut himpunan sampe tamat. Apakah saya menderita? Kurang pergaulan? tulalit? nggak ngerti apa-apa? Bermasalah? Ooo tidak sama sekali. Kehidupan saya baik-baik sajah. Alesan saya dulu menentang ospek karena kegiatannya itu tidak manusiawi, tidak bermanfaat dan membuang-buang energi, tenaga, duit, pikiran dan perasaan. Bayangin aja, kita kudu berhari-hari naek turun gunung, padahal pendaki gunung juga bukaan, dan nggak ada pesiapan fisik sebelumnya. Trus kalo kecapean, lecet kaki dlsb, dibilangnya..”Cengeng looo”. Dah gitu dalam kondisi cape fisik seperti itu, harus lagi didera macem-macem siksaan batin dari para senior, bully dalam bentuk kata-kata sampe perbuatan fisik semacam push-up, bermain dalam lumpur (yang seringnya dibumbui dengan istilah-istilah yang jijay bajay.. jorse…#humor_dewasa, lucuuu cenaaah.. dasar orang-orang sakit yang sudah kehilangan selera humor). Berhari-hari seperti itu boro-boro istirahat, malem-malem jam 2-3 dibangunin, suruh nyemplung ke kali, bersumpah setia dlsb.. Dipikir-pikir nanaonan siiih? Jadi tentara moaaal.. mun engke gawe, acan tangtu deuiih kudu bobolokot lumpur seperti itu. Kalaupun nanti kerjanya kudu seperti itu, biasanya perusahaan dah ngasih training lagi. Bukannya maen cemplung gitu ajah. Keadaan tersebut diperparah dengan minimnya kesiapan panitia, misalnya ada yang mabok, sakit, teler dlsb. Paling-paling mereka cuma nyediain sejenis obat gosok, betadine dlsb. Apakah mereka punya sertifikat P3K? Boro-boro. Trus hasilnya apaah? Apakah orang-orang yang “tough” waktu ospek, dijamin akan bener-bener “tough” di dunia nyata? Ada lhoo.. ada orang yang saya kenal sangat tegar waktu ospek, trus tegar juga nyontek waktu ujian, karena yakin nggak bakalan ditegur asisten. Hehehe.. Kebanyakan mereka ikut ospek karena pengen amaaan, pengen tenaang, nggak diganggu, dimudahkan dalam urusan tugas, praktikum, dlsb.
Ah sudahlah.. pokoknya segudang laaah kejelekannya ospek kalo menurut saya lho.. (Kalo situ nggak setuju, yo wes rapopo. .. sana bikin blog sendiri yang mendukung ospek.. ojo ngomel di blog sayah..).
Apa yang kemudian saya alami akibat menolak ospek tersebut adalah bully to be continued sampe tamat kuliah. Mulai dari asisten yang sinis selama praktikum, nilai laporan yang susah dapet gede meskipun isinya nggak jauh beda dengan isi laporan temen-temen, sampe-sampe adek-adek angkatan yang mendadak ngundurin diri jadi asisten gegara saya jadi asisten koordinator praktikum. Untungnya dulu, jurusan sayah baek hati dan tegas menyatakan bahwa himpunan itu ada untuk mendukung studi, bukan kebalikannya.. (Lha iya tho… opo tumon.. mosok mau mengganggu kegiatan akademik gegara membela kepentingan himpunan).
Sebenernya, ospek itu kalo dijalankan dengan benar, sesuai batas-batas yang berlaku, ya bagus-bagus aja sih. Mungkin yang harus dikurangi itu perbully annya, dan diganti dengan kegiatan yang positif. Artinya bully nya disalurkan dalam bentuk kegiatan positif. Pernah saya dengar waktu kuliah dulu, ada jurusan yang menerapkan “ospek” yang cukup lama, misalnya sekian bulan. Tapi bukan ospek tiap hari dikerjain. Cuma setiap hari sabtu minggu anak baru dikasih tugas. Tugasnya juga bukan kuli-kulian nggak jelas kek gitu. Tapi sejenis tugas ngilmiah, semisal bikin paper, nyari artikel, bikin kliping (dulu masih usum kliping), atau baksos, bersiin selokan di kampung, bersiin sampah, gali sumur atau apa kek. Waah kek gitu nggak asyik dong? Kata siapa? Justru lebih asyik, elmu dapet, temen dapet, manfaat juga dapet.
Parahnya, ospek kek gini, dalam bentuk yang lebih halus, juga terjadi di kantor-kantor. Di lingkungan yang harusnya orangnya dah tuek-tuek, dah mikir, dewasa, eeeh.. seneng banget meng”ospek” karyawan baru. Merasa dirinya mulia hanya gegara lebih lama kerja di tempat tersebut. Kasarnya.. eeeh elo anak kemaren sore, jangan belagu yaaak…? Padahal yaaa, padahal niii, kalo orang-orang ini rajin piknik, harusnya mereka tau bahwa asumsi “anak baru” sama dengan bego itu nggak selalu benar lho.. Bisa jadi dia baru di tempat itu, tapi dah malang melintang di tempat laen. Kenapa siii takut banget dengan anak baru? Takut tersaingi yak? Takut kalah elmunya ya? Ya kalo takut kalah, sanaaa berguru lagi sama mbah, tingkatkan elmunya supaya nggak terkalahkan sama “anak kemaren sore”. Harusnya, kalo ada karyawan baru itu kudu disambut dengan gembira, ada temen baru, ada temen ngebagi-bagi kerjaan. Trus kalo ternyata karyawan baru itu lebih pinter dari kita, lebih berpengalaman, harusnya lebih bersyukur lagi, berarti kerjaan kita bakal lebih mudah dan lebih cepat dari sebelumnya, karena ada orang baru yang lebih pinter dan lebih cekatan. Ngonooo thooo.. Daripada bikin dikotomi, elo anak baru, gue senior, mending bikin harmony…
Jadi, kesimpulannya.. mari hapuskan ospek dalam bentuk apapun…. . mariiii mariiii lah kemariii..